Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Teluk Jambe adalah sebuah desa kecil di tepi Sungai Citarum yang dikenal sebagai daerah penghasil beras di Jawa Barat.
Achmad Soebardjo adalah anak bungsu dari empat bersaudara, hasil perkawinan Teuku Muhammad Yusuf dengan Wardinah. Ayahnya merupakan keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, sedangkan ibunya adalah putri camat di Telukagung, Cirebon, yang memiliki garis keturunan Jawa-Bugis dari Jawa Tengah.
Lebih jauh, kakeknya dari pihak ayah adalah seorang ulèëbalang (kepala pemerintah di Kesultanan Aceh) dan ulama di Lueng Putu. Sementara itu, ayahnya, Teuku Muhammad Yusuf, bekerja sebagai mantri polisi di Teluk Jambe. Ibunya dikenal sebagai sosok cekatan dan penuh inisiatif, terutama dengan keahliannya dalam membatik, memasak, serta mengaji.
Pemberian Nama dan Peran Keluarga
Saat lahir, Achmad Soebardjo diberi nama Teuku Abdul Manaf. Namun demikian, atas usul Raden Mas Said, seorang rekan ayahnya, ia diberi nama Soebardjo. Selanjutnya, kakeknya menambahkan nama “Achmad” di depan, sehingga menjadi Achmad Soebardjo. Akhirnya, nama Djojoadisoerjo ditambahkan sendiri olehnya setelah dewasa, tepatnya saat ia ditahan akibat Peristiwa 3 Juli 1946.
Pendidikan Masa Kecil dan Awal Pendidikan
Untuk pendidikan awal, Achmad Soebardjo menempuh pendidikan di Sekolah Rendah Eropa III (3e Europeesche Lagere School–ELS) di Kramat, sebelum akhirnya pindah ke Sekolah Rendah Eropa Pertama B (ELS-B) di dekat Pasar Baru. Sejak kecil, ia sudah fasih berbahasa Belanda dan gemar membaca buku-buku karya Karl Friedrich May, Jules Verne, serta cerita petualangan Buffalo Bill.
Motivasi Belajar dan Semangat Melawan Diskriminasi
Pada masa sekolah di ELS-B, ia sempat mengalami diskriminasi dari kepala sekolahnya, Vleming, yang memandang rendah kemampuan pribumi. Namun, pengalaman ini justru memotivasi Soebardjo untuk belajar lebih giat agar mampu membuktikan bahwa pribumi juga mampu bersaing dengan bangsa Eropa. Setelah lulus dari ELS-B, ia melanjutkan ke Sekolah Pangeran Hendrik, namun kemudian pindah ke Sekolah Raja Willem III (KW III/HBS) di Salemba.
Minat pada Sejarah dan Pendidikan Tinggi
Selama di KW III, minatnya pada pelajaran sejarah semakin berkembang. Akhirnya, setelah lulus pada tahun 1917, ia melanjutkan pendidikannya ke Belanda pada tahun 1919 untuk mendalami hukum internasional di Universitas Leiden. Ia berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1933.
Peran dalam BPUPKI dan Panitia Sembilan
Pembentukan BPUPKI
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang) membentuk BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) sebagai langkah awal persiapan kemerdekaan Indonesia. BPUPKI diketuai oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat dengan anggota sebanyak 60 pemimpin nasional, termasuk Achmad Soebardjo.
Kontribusi Pemikiran dalam BPUPKI
Dalam sidang pertama BPUPKI (21 Mei–1 Juni 1945), Soebardjo menegaskan bahwa konstitusi Indonesia harus berdasarkan falsafah hidup bangsa, dan bukan hanya sekadar meniru negara lain. Dengan demikian, pemikirannya menjadi salah satu pertimbangan utama dalam penyusunan dasar negara.
Selain itu, ia juga terlibat dalam Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan Pembukaan UUD 1945. Salah satu gagasan pentingnya termuat dalam paragraf pertama Pembukaan UUD 1945:
“Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”
Peran dalam PPKI dan Peristiwa Rengasdengklok
Pembentukan PPKI
Pada 7 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk oleh Marsekal Terauchi. Dalam hal ini, Soekarno dan Hatta ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua, sedangkan Achmad Soebardjo menjabat sebagai salah satu anggota penting badan perancang.
Peristiwa Rengasdengklok
Namun demikian, pada 16 Agustus 1945 terjadi perdebatan antara golongan tua dan muda tentang cara terbaik untuk memproklamasikan kemerdekaan. Golongan tua, termasuk Soebardjo, cenderung mendukung pembahasan dalam rapat PPKI. Sebaliknya, golongan muda menganggap PPKI adalah badan bentukan Jepang dan mendesak agar proklamasi dilakukan segera.
Sebagai akibatnya, para pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok agar terhindar dari pengaruh Jepang. Pada saat itu, Achmad Soebardjo terkejut mendengar kabar penculikan tersebut. Akan tetapi, ia segera berupaya menengahi situasi.
Negosiasi dan Proklamasi Kemerdekaan
Melalui negosiasi intens dengan para pemuda, Achmad Soebardjo akhirnya berhasil meyakinkan mereka untuk membawa Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Dengan demikian, setelah perdebatan panjang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya dilaksanakan pada 17 Agustus 1945.